Perkembangan Perbankan Di Indonesia
A. Kondisi Sebelum Deregulasi
Kondisi sebelum deregulasi sangat dipengaruhi oleh berbagai kepentingan
ekonomi dan politik dari Pemerintah. Tingkat inflasi yagn tinggi serta
kondisi ekonomi makro secara umum yang tidak bagus terjadi bersamaan
dengan kondisi perbankan yagn tidak dapat memobilisasikan dana dengan
baik, hal tersebut merupakan fenomena yang terjadi pada masa sebelum
deregulasi tersebut seolah – olah menjadi suatu lingkaran yang tidak ada
ujung pangkalnya serta saling mempengaruhi.
Untuk mengatasi situasi
tersebut, ditempuh dengan cara melakukan serangkaian kebijakan berupa
dergulasi di sektor riil dan sektor moneter. Pada tahap awal deregulasi
lebih cepat dampaknya pada sektor moneter melalui perubahan di dunia
perbankan. Perubahan yang terjadi juga termasuk peningkatan peraturan
pada bidang-bidang tertentu, sehingga deregulasi ini lebih tepat
diartikan sebagai perubahan-perubahan yang dimotori oleh otoritas
moneter untuk meningkatkan kinerja di dunia perbankan, dan pada akhirnya
juga diharapkan akan meningkatkan kinerja sektor riil.
Fungsi utama
perbankan pada masa setelah kemerdekaan sampai dengan sebelum adanya
deregulasi tidak banyak mengalami perubahan, yaitu :
Memobilisasikan
dana dari investor untuk membiaya kebutuhan dana investasi dan modal
kerja perusahaan-perusahaan besar milik pemerintah dan swasta.
Memberikan jasa-jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan besar.
Mengadministrasikan anggaran pemerintah untuk membiayai kegiatan pemerintah
Menyalurkan dana anggaran untuk membiayai program dan proyek pada sektor-sektor yang ingin dikembangkan oleh pemerintah.
Keadaan perbankan masa belum adanya perangkat peraturan dan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur dunia perbankan, adalah :
Tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur secara jelas tentang
perbankan di Indonesia. Sampai akhir tahun 1960-an hanya ada UU No. 13
tahun 1968 yang isinya tidak mengatur secara jelas tentang perbankan di
Indonesia, lebih cenderung mempertegas kuatnya campur tangan pemerintah
di dunia perbankan, yaitu tentang kedudukan bank sentral dan dewan
moneter.
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) pada bank-bank tertentu
KLBI diberikan bukan dalam pengertian yang baku, yaitu untuk mengatasi
kesulitan likuiditas, melainkan diberikan justeru untuk tujuan
ekspansif.
Bank banyak menanggung program pemerintah bank harus
menjalankan kegiatan perbankan yang erat kaitannya dengan program atau
proyek pemerintah.
Instrumen pasar uang yang terbatas. Instrumen
yang terdapat pada pasar uang, yaitu berupa Surat Berharga Pasar
Uang(SBPU) dan belum mengenal adanya Serifikat Bank Indonesia (SBI).
Jumlah bank swasta yang relatif sedikit, yaitu :
Sedikit muncul bank baru. Dominasi bank pemerintah yang sangat kuat
dengan segala fasilitas dan kemudahannya menyebabkan sulit sekali bagi
bank swasta baru untuk masuk dalam persaingan apalagi untuk berkembang
menjadi bank yang besar.
Persaingan antar bank yang tidak ketat
adanya kebijakan bahwa tingkat bunga simpanan dan pinjaman secara
sepihak ditentukan oleh bank senral semakin menyebabkan tidak adanya
iklim persaingan.
Posisi tawar menawar (bergaining position) bank relatif lebih kuat daripada nasabah
Bank (pemerintah) seolah-olah tidak merasa membutuhkan nasabah, nasabahlah yang membutuhkan bank.
Prosedur berhubungan dengan bank yang rumit bank merasa tidak terlalu
membutuhkan nasabah, maka bank juga merasa tidak perlu memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya kepada nasabahnya.
Bank bukan
merupakan alternatif utama bagi amsyarakat luas untuk menyimpan dan
meminjam dana. Masyarakat kecil lebih banyak berhubungan dengan
pegadaian dan rentenir untuk memperoleh pinjaman dana.
Mobilisasi
dana lewat perbankan yang sangat rendah hal-hal di atas menyebabkan
sangat rendahnya mobilisasi dana dari masyarakat luas yang masuk ke
perbankan dan sebaliknya arus dana dari perbankan yang disalurkan kepada
masyarakat luas juga sangat rendah.
Perekonomian Indonesia masih
mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan
debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan
perekonomian. Bank Indonesia tetap berdasarkan Undang- Undang (UU) No.
13/1968 tentang bank sentral dan beberapa pasal dalam UU No. 14/1967
tentang perbankan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya terjadi
perubahan fundamental karena segala kebijakan yang dilaksanakan Bank
Indonesia (BI) dilakukan berdasarkan kebijakan deregulasi dan
debirokratisasi yang dijalankan pemerintah. Salah satu maksud dari
kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun
suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh.
Kondisi
perekonomian pada akhir periode 1982/1983 kurang menguntungkan, baik
karena faktor eksternal maupun internal. Kemampuan pemerintah untuk
menopang dana pembangunan semakin berkurang, untuk itu dilakukan
perubahan strategi untuk mendorong peranan swasta agar lebih besar.
Dampak dari over-regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan
hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan
deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan
tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode
tersebut.
Pada 1983, tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan
penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan suku bunga kredit,
tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit Likuiditas
Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit
tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor. Tahap
awal deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim persaingan antar
bank.
Banyak bank, terutama bank swasta, mulai bangkit untuk
mengambil inisiatif dalam menentukan arah perkembangan usahanya. Seiring
dengan itu, BI memperkuat sistem pengawasan bank yang di antaranya
melalui penyusunan dan pemeliharaan blacklist yang diberi nama resmi
Daftar Orang-Orang yang Melakukan Perbuatan Tercela (DOT) di bidang
perbankan. Mereka yang masuk dalam daftar ini tidak boleh lagi
berkecimpung dalam dunia perbankan.
B. Kondisi Sesudah Deregulasi
Meskipun istilah yang digunakan “deregulasi”, namun tidak berarti bahwa
perubahan yang dilakukan sepenuhnya berupa pengurangan pembatasan atau
pengaturan di dunia perbankan. Deregulasi lebih tepat diartikan sebagai
perubahan-perubahan yang dimotori oleh otoritas moneter untuk
meningkatkan dunia perbankan dan pada akhirnya juga diharapkan akan
meningkatkan kinerja sektor riil.
Kebijakan deregulasi yang telah dilakukan :
Paket 1 Juni 1983 yang berisi tentang :
Ø Penghapusan pagu kredit dan pembatasan aktiva lain sebagai instrumen pengendali Jumlah Uang Beredar (JUB).
Ø Pengurangan KLBI kecuali untuk sektor-sektor tertentu.
Ø Pemberian kebebasan bank untuk menetapkan suku bunga simpanan dan pinjaman kecuali untuk sektor-sektor tertentu.
Bank Indonesia sejak 1984 mengeluarkan SBI.
Bank Indonesia sejak 1985 mengeluarkan ketentuan perdagangan SBPU dan fasilitas diskonto oleh BI.
Paket 27 Oktober 1988 yang berisi tentang :
Ø Pengerahan dana masyarakat, yang meliputi :
§ Kemudahan pembukaan kantor bank.
§ Kejelasan aturan pendirian bank.
§ Bank dan lembaga keuangan bukan bank bisa menerbitkan sertifikat deposito dan tanpa perlu izin.
§ Semua bank dapat meyelenggarakan tabanas dan tabungan lain.
Paket 28 Pebruari 1991, berisi tentang : Penyempurnaan paket sebelumnya
menuju penyelenggaraan lembaga keuangan dengan prinsip kehati-hatian,
sehingga dapat tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga keuangan.
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Paket 29 Mei 1993 yang berisi tentang penyempurnaan aturan kesehatan bank meliputi :
Ø CAR (Capital Adequacy Ratio)
Ø Batas Maksimum Pemberian Kredit
Ø Kredit Usaha Kecil
Ø Pembentukan cadangan piutang
Ø Loan to Deposit Ratio
Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam
deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi
Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai
kebijakan penertiban perbankan 1971–1972. Pemberian izin usaha bank baru
yang telah dihentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88.
Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR
menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal ringan. Suatu
kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan.
Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk
bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank
telah mencapai minimal Rp 100 juta.
Namun demikian, Pakto 88 juga
mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan
kemudahan oleh para 3 pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto
88, BI secara intensif memulai pengembangan bank bank sekunder seperti
bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa
diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Tujuan pengembangan
BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan untuk
mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping
untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan. Dalam Pakto 1988, juga
dibuka kesempatan untuk mendirikan bank umum dan bank pembangunan baik
yang berbadan hukum perseroan terbatas maupun koperasi dengan syarat
yang lebih sederhana, suatu bank dapat didirikan dengan modal 10 milyar
rupiah.
Paket kebijaksanaan ini juga menentukan bahwa bank swasta
nasional, bank perkreditan rakyat (BPR), termasuk lembaga dana dan
kredit pedesaan (LDKP), dapat didirikan di luar ibukota negara, ibu
kota propinsi dan ibukota Dati II, serta dapat berbentuk perseroan
terbatas atau koperasi.
Kebijaksanaan baru tersebut juga memberi
keringanan persyaratan bagi bank-bank yang ingin meningkatkan statusnya
menjadi bank devisa (melayani transaksi devisa), membuka kemungkinan
pendirian bank campuran (join kerjasama dengan bank asing) dan memberi
kesempatan bagi bank asing untuk membu¬ka kantor cabang pembantu di
kota-kota tertentu.
Di samping kemudahan-kemudahan tersebut,
disempurnakan juga ketentuan mengenai kewajiban bank untuk memelihara
likuiditas minimum baik dalam rupiah maupun valuta asing, yaitu dari 15
persen menjadi 2 persen yang juga berlaku bagi LKBB (Lembaga Keuangan
Bukan Bank. Misalnya seperti perusahaan financing yang bentuk usahanya
bukan bank).
Untuk penyempurnaan Pakto 88, dikeluarkan Paket 25
Maret 1989 yang antara lain memuat ketentuan-ketentuan penilaian
kesehatan bank hasil merger, komponen modal untuk perhitungan capital
adequacy lebih diperjelas, ketentuan mengenai lending limit dan memberi
kesempatan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan dana
pada lembaga-lembaga lain serta memberikan kredit investasi jangka
menengah dan panjang. Berbagai kemudahan tersebut berdampak cukup luas
kalau tidak mengatakan peletak landasan baru bagi industri perbankan di
Indonesia.
Kalangan investor/swasta tertarik untuk berekspansi dalam
industri perbankan. Sebagai akibatnya perkembangan bank swasta nasional
mengalami per¬tumbuhan yang sangat pesat dan laju pertumbuhannya telah
mampu mematahkan dominasi bank pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari
semakin banyaknya bermunculan bank-bank baru dan juga pembukaan
kantor-kantor bank, terutama oleh bank swasta. Pada tahun tersebut
banyak kelompok-kelompok perusahaan besar mendirikan bank-bank baru.
Kelompok usaha Bakrie misalnya, mendirikan Nusa Bank, Subentra Group
mendirikan Bank Subentra, Jaya Group mendirikan Jaya Bank serta
bebera¬pa kelompok perusahaan lainnya.
Memasuki tahun 1990-an, BI
mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang
mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan
UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi
perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.
UU
Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian
pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan
tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan
dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman
hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang
yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan
terhadap perbankan.
Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai
menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang
menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk
melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk
menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI,
Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan
Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit
macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi
kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani
perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang
melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam
Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami
booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan
itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei 1993 ternyata
memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat
singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada
upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir
deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah
berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.
Keadaan ini memaksa pemerintah memberlakukan kebijaksanaan baru dalam
bidang moneter pada tahun 1990. Paket Deregulasi Januari 1990
diluncurkan untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan
mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit
usaha kecil (KUK). Pada tahun yang sama juga, dengan terpaksa
pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan uang ketat (Tight Money Policy)
serta menarik dana milik BUMN dari beberapa bank untuk mendinginkan suku
perekonomian dalam negeri.
Di samping itu juga pemerintah menaikkan
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menarik dana dari
masyarakat. Meningkatnya suku bunga SBI tersebut membawa dampak
peningkatan suku bunga perbankan lainnya seperti Surat Berharga Pasar
Uang dan Interbank Call Money. Pada tahun 1989 terjadi peningkatan tajam
tingkat bunga SBI dari 15,15 persen menjadi 19,88 persen, tingkat bunga
SBPU dari 17,00 persen menjadi 20,84 persen dan tingkat bunga interbank
dari 12,57 persen menjadi 21,53 persen.
C. Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali
struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian,
peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip
kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta
peningkatan profesionalisme para pelakunya. Dengan undang-undang
tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah,
landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah),
serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran
ketentuan perbankan.
Sebagai rangkaian kebijakan deregulasi dengan
mengantisipasi perkembangan sebagaimana diuraikan di atas, pada 17
Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan
Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola pengawasan dan
pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan kedewasaan dan
kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab dalam
mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
Pola dasar pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan sebagai
konsep yang terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain
yang terkait. Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan,
Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991
(Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang
memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar
perbankan internasional yang antara lain meliputi ketentuan mengenai
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva
Produktif.
Bertalian dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang
Perbankan 1992 yang menetapkan bahwa bank pemerintah harus menyesuaikan
bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya setahun sejak dikeluarkannya
undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu bank-bank yang
bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili oleh
Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan
dalam rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan.
Moneter Indonesia
Mulai pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi moneter menerpa Indonesia.
Nilai tukar rupiah melemah, sistem pembayaran terancam macet, dan
banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan. Berbagai langkah
ditempuh, mulai dari pengetatan moneter hingga beberapa program
pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa Letter of Intent (LoI)
pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram dapat terlewati. Perekonomian
semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa
reformasi. Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah
bagi Bank Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.
3/2004. Dalam undang-undang ini, Bank Indonesia ditetapkan sebagai
lembaga tinggi negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya. Sesuai undang-undang tersebut, Bank Indonesia diwajibkan
untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi
perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar negeri
berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui
Post Program Monitoring (PPM) pada 2004.
1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode
1997 - 1999
Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang
sendi-sendi ekonomi dan politik nasional. Bagi perbankan, krisis telah
menimbulkan kesulitan likuiditas yang luar biasa akibat hancurnya Pasar
Uang antar Bank (PUAB). Sebagai lender of the last resort BI harus
membantu mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan pembayaran untuk
mempertahankan kelangsungan ekonomi nasional. Nilai tukar Rupiah terus
merosot tajam, pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah melalui
kenaikan suku bunga yang sangat tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan
dari bank-bank ke BI (SBI) serta pengetatan anggaran Pemerintah.
Ternyata kebijakan tersebut menyebabkan suku bunga pasar uang melambung
tinggi dan likuiditas perbankan menjadi kering yang menimbulkan bank
kesulitan likuiditas. Segera setelah itu masyarakat mengalami kepanikan
dan kepercayaan mereka terhadap perbankan mulai menurun. Maka terjadi
penarikan dana perbankan secara besar-besaran yang sekali lagi
menimbulkan kesulitan likuiditas pada seluruh sistem perbankan.
Akibatnya sistem pembayaran terancam macet dan kelangsungan ekonomi
nasional tergocang. Untuk itu pada Oktober 1997, pemerintah mengundang
IMF untuk membantu program pemulihan krisis di Indonesia. Pada 31
Oktober 1997 disetujui LoI pertama yang merupakan program pemulihan
krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan akan menjamin pembayaran
kembali kepada para deposan. Memasuki 1998 keadaan ekonomi semakin
memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal
tersebut disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena
kegitan produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu karena
rusaknya sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Pada 15
Januari 1998 Pemerintah mempercepat program stabilisasi dan reformasi
ekonomi dengan LoI kedua. LoI kedua diikuti dengan LoI ketiga 8 April
1998 yang mencakup program stabilisasi Rupiah, pembekuan 7 bank dan
penempatan nya pada BPPN serta penyelsaian hutang swasta dengan
Pemerintah sebagai mediator. Kemudian LoI keempat pada 25 Juni 1998 yang
mencakup revisi atas target-target ekonomi dan penyediaan Jaringan
Pengaman Sosial (JPS). Selain mengatasi krisis moneter, pemerintah juga
juga membantu menyelesaikan pinjaman luar negeri sektor swasta.
Diantaranya pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Utang Luar Negeri
Swasta (TPULNS) yang menghasilkan kesepakatan di Frankfurt pada 4 Juni
1998 tentang penyelesaian utang luar negeri swasta. Masih dalam upaya
yang serupa, pemerintah membentuk INDRA (Indonesian Restructuring
Assets) yang bertugas melindungi debitur Indonesia dari resiko perubahan
nilai tukar pada jumlah hutangnya. Kemudian pada 9 September 1998
pemerintah membentuk Prakarsa Jakarta untuk menyediakan akses bagi
perusahaan agar dapat mendaptkan modal baru guna menggerakkan kembali
usahanya. Langkah tersebut diambil
D. Jalan Berliku Perbankan Indonesia di 2008-2009
Perjalanan perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan
dan kendala yang harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha dan
pengusaha dari berbagai sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan
dan rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa yang menduga, krisis
keuangan global terjadi di tahun ini dan akibatnya dampak tersebut mulai
dirasakan negara berkembang, khususnya Indonesia.
Meskipun dampak
dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber
tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan
pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari
pengamat ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan
terasa pada tahun depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras
memutar otak mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan
terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor
perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri
otomotifnya, seperti General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di
Amerika juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal,
negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan
apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ternyata betul saja,
dampak krisis sempat memberikan sentimen buruk bagi lembaga keuangan
bank dan non bank di Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat
terkoreksi pada level yang paling buruk dampak menularnya kejatuhan
pasar bursa di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri
sempat membuat otoritas bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu dua
hari.
Sumber : berbagai blog
hari baik untuk semua warga negara Indonesia, nama saya Ibu aisha bukafia, silakan, saya ingin membagikan kesaksian hidup saya benar di sini pada platform ini untuk semua warga negara Indonesia untuk berhati-hati dengan pemberi pinjaman di internet, Allah memiliki trully mendukung saya melalui ibu yang baik Mrs. Emiliana
BalasHapusSetelah beberapa periode mencoba untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, dan ditolak terus, jadi saya memutuskan untuk mendaftar melalui pinjaman online tapi saya ditipu dan saya kehilangan Rp15.000.000, dengan seorang wanita di arab saudi.
saya menjadi begitu putus asa dalam mendapatkan pinjaman, jadi saya berdiskusi dengan seorang teman saya yang kemudian intorduce saya untuk Ibu Emiliana, yang merupakan pemilik dari sebuah organisasi pinjaman global, jadi teman saya meminta saya untuk menerapkan dari Ibu Emiliana, jadi saya summorned keberanian dan menghubungi Mrs. Emiliana.
Aku diterapkan untuk jumlah pinjaman Rp400,000,000 dengan tingkat bunga 2%, sehingga pinjaman tersebut disetujui dengan mudah tanpa stres dan semua persiapan dilakukan pada transfer kredit, karena fakta bahwa tidak memerlukan agunan dan jaminan untuk transfer pinjaman, saya hanya diberitahu untuk mendapatkan sertifikat perjanjian lisensi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari dua jam uang pinjaman telah disetorkan ke rekening bank saya.
Saya pikir itu adalah lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa account saya telah dikreditkan dengan jumlah Rp400,000,000. Saya sangat senang bahwa akhirnya Allah telah menjawab doa saya dengan memesan pinjaman saya dengan pinjaman asli saya, yang telah memberi saya keinginan hati saya.
Semoga Allah memberkati Ibu Emiliana untuk membuat kehidupan yang adil bagi saya, jadi saya menyarankan siapa pun tertarik untuk mendapatkan pinjaman untuk silakan hubungi Ibu Emiliana melalui email: emilianawilson11@gmail.com untuk pinjaman Anda
Akhirnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda semua untuk meluangkan waktu untuk membaca kesaksian hidup sejati saya tentang kesuksesan saya dan saya berdoa Tuhan akan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda.
satu lagi nama saya mrs aisha bukafia, Anda dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui email saya: mrsaishabukafia@gmail.com